Selasa, 30 April 2013

PERGILAH

Karya Alfiyan Harfi 1)


Pergilah dan jangan katakan di mana kau akan tinggal
Karena aku tak akan pernah mencarimu
Jangan pernah sekalipun mencoba mengingat namaku
karena aku pun telah melupakan suaramu


Di lautan yang berbeda, kita masing-masing berlayar
dengan kapal yang digoyahkan ombak pecah.
Jangan sekalipun menyanyikan lagu cintaku
kencangkan tali biola dan patahkan lengannya.


Kini, segalanya nampak beda dari pengalamanku
Segalanya mengenakan selimut ketelanjangannya kembali:
Angin mencipta ombak, duka mencipta suara
Ketika kubawa diriku meninggalkan pulau dan tubuhku.



Itu adalah salah satu puisi karya Alfiyan Harfi dalam antologi puisi perdananya yang berjudul Untuk Yang mati dan Yang Tak Bisa Mati. Senang sekali pada akhirnya aku bisa memiliki bukunya. Rasanya sangat berbeda, meskipun jauh sebelum buku ini terbit aku telah memiliki PDFnya, membaca buku cetaknya terasa lebih menyenangkan.


Secara umum buku tersebut menceritakan kegaiban akan kematian. Puisi ini misalnya, bait pertama mengisyaratkan tempat tinggal kita setelah pergi. Kemudian pada bait kedua, Di lautan yang berbeda, kita masing-masing berlayar bahwa setiap manusia akan mempertimbangkan amal perbuatannya masing-masing. Bait ketiga selanjutnya akan mempertegas tema puisi ini dengan mengakhirinya dengan Ketika kubawa diriku meninggalkan pulau dan tubuhku. Seperti yang ditulis oleh Prof. Dr. Faruk2) dalam pengantarnya bahwa puisi-puisi Alfiyan Harfi dalam buku ini penuh dengan metafora yang mengejutkan, yang mengimplikasikan ketegangan-ketegangan yang ada dalam hubungan antar manusia maupun antara manusia sebagai makhluk yang fana dengan Kau sebagai Yang Abadi.


Ketika membaca buku ini, aku tidak membacanya secara runut dari depan ke belakang maupun sebaliknya. Aku membacanya secara acak, lalu memilih salah satu di antara yang telah kubaca. Seperti ketika SMA aku membaca majalah sastra Horison yang tersedia di perpustakaan sekolah. Dari situ sebenarnya saya telah memiliki ketertarikan dengan dunia sastra. Bahkan sebenarnya, ketika ada pemilihan jurusan di SMA aku memilih untuk masuk ke Bahasa ketimbang IA (Ilmu Alam) maupun IS (Ilmu Sosial). Namun mungkin karena peminat jurusan Bahasa saat itu sangat sedikit, dan belum tersedianya laboratorium bahasa, sekolah akhirnya memasukkanku ke IA.


Lepas dari SMA, aku mulai kebingungan mencari bahan bacaan. Aku akhirnya rutin setiap minggunya membeli koran SM (Suara Merdeka). Pengalaman ketika ada tugas membuat kliping sastra, setiap Minggu pasti ada rubrik khusus tentang puisi dan cerpen. Namun apa yang terjadi ternyata berubah. Aku lebih sering membaca rubrik konsultasi komputer dan teknologi. Ada tips-tips dan tutorial membuat blog, tips dan trik ponsel dan lain-lain. Pada akhirnya ini yang membuatku lebih tertarik. Meskipun aku sendiri menyadari maupun tidak menyadari bahwa perangkat-perangkat teknologi bagiku pada saat itu sangat jauh panggang dari api.


Sekian dulu tulisan ini. Aku berharap selanjutnya dapat menuliskan perkenalanku pertama kali dengan dunia komputer dan internet yang menurutku sendiri cukup (tidak) unik untuk dituliskan. Aku mohon maaf buat kang Alfiyan Harfi jika ternyata apa yang hendak beliau sampaikan pada puisi tersebut ternyata jauh dari apa yang kutuliskan di sini. Ini hanyalah sebuah apresiasi dariku sendiri dan semoga berkenan. Terima kasih.

-----
1) Alfiyan Harfi, lahir pada 30 November 1986, beberapa karyanya pernah dipublikasikan di Suara Merdeka, Tabliod Tren, Koran Sore Wawasan, Surya Surabaya, Solo Pos, dan juga beberapa Antologi bersama seperti Herbarium (bersama penyair muda empat kota: Bandung - Padang - Bali -  Yogya), Pendhapa 5 (Penyair Jawa Tengah 2008), Blues Mata Hati (Penyair banyumas Besar 2008), dan Dongeng Tentang batu, Pendhapa 13 (Penyair Jawa Tengah 2012).
Sekarang nyambi kuliah di STAIMA BANJAR, mengajar di MI Mafatihul Huda Serang dan SMK Amirul MU'minin Sidareja.

2) Prof. Dr. Faruk, Guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Rabu, 30 Januari 2013

Another "Curcol"

Rabu, 30 Januari 2013/05 01:48:31

 

Terlalu banyak yang ingin aku tulis, sehingga tak satu pun yang akhirnya dapat kutulis sudah menjadi hal yang biasa dalam petualangan menulisku. Aku pada akhirnya hanya dapat mengisahkan sepenggal kata yang tersisa di kepalaku. 

 

Aku tak bermaksud untuk menyakiti hati siapa pun. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang ada dalam kepalaku. Melalui sebuah tulisah yang `humble` ini. Aku mengembalikan apa yang pernah kau titipkan padaku, bukan karena aku tidak menyukainya. Bukan pula aku tak merasa senang. Aku hanya merasa sudah tak relevan dengan aksesoris yang bermacam-macam itu. Lagipula ketika aku memakainya (atau melihat orang lain memakainya) hanya akan mengingatkanku pada hal-hal yang telah tiada. Pada hal-hal yang ternyata hanya merupakan mimpi di siang bolong. Mimpi yang telah sesuai dengan kiasannya `hanyalah kembang tidur`. 

Tentang obat itu (yang kau eja dengan bunyi `kitrol` namun kulihat bertuliskan `xitrol`), aku membelinya di hari-hari terakhir aku kehilangan pekerjaanku. Hanya satu yang ada dalam pikiranku ketika membelinya : semoga berguna serta bermanfaat buat kamu. Lagipula aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Selama ini aku selalu membawa obat itu ke mana-mana, bersamaan dengan obat-obatku yang lain yang selalu kujaga ketersediannya.

 

Masih jelas dalam ingatanku ketika pertama kali bertemu sejak nyaris 5 tahun terakhir. Kau mengatakan bahwa sejak SMA kau tak pernah berpacaran dengan sesama anak sekolah. Kau dengan jelas mengatakan alasanmu `ora ono duite` (Ind: Tidak ada uangnya). Aku merasa bahwa statemen itu masih berlaku hingga saat ini. Lebih lanjut kau mengatakan bahwa kau selalu menginginkan pacar yang lebih tua darimu (kurasa ini wajar)