|
Saat aku menulis ini, aku sedang dalam keadaan lapar. Bukan aku tak mampu beli makanan. Hanya saja, aku masih mager alias malas gerak. Namun, itu bukan alasanku untuk menulis di blog ini.
Beberapa hari yang lalu, saat aku di kelas, aku mengajak anak-anak untuk praktek menginstall sistem operasi. Namun, dalam kelas hanya ada 3 laptop. Pada akhirnya, laptop tersebut diinstall menggunakan sistem operasi yang kusarankan. Hampir tidak ada yang berjala mulus. Aku tak habis pikir, kenapa bisa begini.
Ada sebuah laptop, yang pada saat itu, baru 3 hari dibeli. Ya, laptop itu salah satunya yang dipakaikan untuk praktek install di kelas. Beberapa kali gagal install Ubuntu 16.04 64 bit dengan mode UEFI. Namun setalah diinstall tanpa mode UEFI, instalasi berhasil hingga akhir. Dan sistem operasi berjalan normal. Kecuali, sistem operasi sebelumnya yang ternyata tidak terbaca. #teknis
Pada hari berikutnya, ternyata laptop itu telah diinstall ulang dengan sistem operasi windows. Kemudian terdapat kendala, yaitu touchpad tidak berfungsi. Di sinilah letak kesalahanku, siswa bertanya, kemudian aku cuekin begitu saja. #teknis
Ternyata, muncul persoalan baru. Ortu murid tidak terima, laptop yang baru dibelinya touchpadnya tidak berfungsi. Pada hari berikutnya, beliau datang ke rumah pak kepala sekolah. Yang intinya meminta pertanggungjawaban seorang guru yang bernama saeful (itu nama yang dia dengar dari anaknya). Namun mungkin yang dimaksudnya adalah samsul, ya, itu namaku.
Pagi itu, aku yang baru mau berangkat sekolah, mendapat panggilan dan sms dari kepala Tata Usaha sekolahku. Pada awalnya aku tak tau, kalau aku dipanggil karena soal itu. Sesaat aku sampai di sekolah, aku diminta untuk langsung menuju rumah pak Kepsek yang tak jauh dari sekolah, hanya berjarak sekitar 300 meter. Aku pun ke sana tanpa berpikir yang macam-macam.
Saat di rumah pak Kepsek, ternyata sudah ada Ka-TU dan ortu murid tersebut (rasanya tak perlu menyebutkan nama). Namun pak Kepsek sendiri tidak ada di tempat. Inti dari pertemuan itu adalah, si ortu murid (sebut saja pak ortumu) memintaku untuk bertanggung jawab. Karena laptop yang baru dibelinya dari purwokerto sistem operasinya berubah, dan ada komponen yang tidak berfungsi.
Pada akhirnya, laptop tersebut kubawa sembari berkata, "Oke ini saya bawa, saya bereskan. Nanti sore anak-anak kan pramuka, kalau sudah selesai saya serahkan ke anak bapak."
Menurut pak Ka-TU, ortumu tersebut memang sengaja datang untuk ngomelin aku karena laptop tersebut. Pak Ka-TU sudah meluruskan, bahwa ortumu harus menunggu konfirmasi yang bersangkutan (yaitu aku) untuk mengonfirmasi apa benar aku yang menginstall. (Terasa agak mbrundet kalimat ini, tapi ya beginilah).
Hari itu memang hari Jum'at, Aku berpikir aku akan mengerjakan setelah pulang Jumatan. Siang itu juga, sebelum kegiatan pramuka dimulai aku memanggil dua orang anak. Satu pemilik laptop (si A), dan satunya lagi yang menginstall laptop tersebut terakhir (si B). Kukatan sepatah dua patah kata tentang apa yang terjadi dan bertanya beberapa hal. Selanjutnya, aku meminta si B untuk membereskan hal tersebut. Aku juga menyerahkan kartu namaku pada si A, jika suatu saat ortumu perlu menghubungiku.
Pikirku, ada anak yang pandai, kenapa tidak memberdayakannya?
Hari pun berlalu. Tak kusangka, hal tersebut menjadi bumerang bagiku. Sabtu malam, aku mendapat panggilan telepon dari nomor yang tidak kukenal. Ternyata si ortumu yang memanggil. Beliau marah, beliau memaki-makiku dengan sebutan yang tidak ingin didengar oleh siapapun. Pada saat itu, pikirku, ini tidak jauh berbeda dengan kasus orang tua yang marah lalu memenjarakan guru yang mencubit anaknya.
Dalam sambungan telepon tersebut juga beliau menggunakan beberapa kalimat ancaman. Tak terkecuali, ancaman penjara atas tuduhan penipuan. Menurutku, sebenarnya wajar, orang tua marah karena barang milik anaknya "dirusak" oleh orang lain, sedangkan barang tersebut merupakan hasil jerih payahnya. Namun, bahasa yang digunakannya itu yang membuatku tak nyaman. Ortumu bahkan menggunakan kata "lonte" untuk "menyerangku".
Pada saat tersebut, dalam pikiranku pun, aku berkata pada diri sendiri. Apapun yang kukatakan, benar sekalipun akan dianggap salah oleh beliau. Dalam sambungan telepon tersebut, aku pun berkali-kali meminta maaf. Namun, kata maaf yang kuucapkan itu seperti menggarami air laut. Tak dihiraukan, bahkan tak didengarnya. Aku pun berusaha untuk tidak terpancing emosiku.
Telepon akhirnya terputus ketika ada panggilan lain masuk. Oh, ternyata bapaknya pacarku yang telepon. Oh, ini Malam minggu rupanya. Aku diminta datang ke rumah (setelah aku kirim sms).
Aku pun buru-buru menghubungi si B, dengan berbagai cara. Ternyata sangat sulit, nomor telepon yang dia punya (kudapat dari teman-temannya) tidak ada yang bisa dihubungi. Akun facebooknya juga luring. Pikirku, ini harus selesai malam ini juga. Kalau perlu aku datang ke rumah si B.
Untungnya ada Eri, anakku yang biasanya berkumpul di Sidareja, saat itu dia sedang di rumah. Kuminta dia untuk datang ke rumah si B, mengambil laptop tersebut, dan membawanya ke basecamp.
Namun ternyata, ternyata eh ternyata, menurut si B laptop tersebut sudah diambil oleh si ortumu dan si A. "Anu pak, Laptopnya sudah diambil sama bapaknya sama si A, sudah normal," kata si B. "Beneran itu?" tanyaku. "Beneran pak," jawabnya.
Oaaalah, kok aku dikerjain, batinku. Ternyata laptopnya sudah jadi. Tapi si ortumu tetep marahin aku. Ya nasib, ya nasib. Hahahaha... Tapi si ortumu justru menelponku justru setelah laptop diterimanya. Kan jadi aneh.
Ini benar-benar menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagiku. Seharunya aku tidak abai ketika seorang siswa menanyaiku. Dan mungkin, sudah seharunya aku mengerjakan sendiri sesuatu yang harus kukerjakan.
Siang ini, menurut saran seorang teman, untuk menghindari "serangan" yang ke-2, aku harus ceritakan semuanya kepada pak Kepsek. Aku pun melakukannya, meskipun hanya melalui sambungan telepon. Ternyata pak Kepsek pun merasa tak nyaman dengan kalimat-kalimat yang diucapkan si ortumu.
Dan menurut pak Kepsek, memang demikian karakter orang tersebut. Kita harus menghadapinya dengan sabar, jangan terpancing emosi.
Aku merasa lega setelah kucurahkan kegalauanku pada pak Kepsek. Semoga di kedepan hari (entah kalimat macam apa ini), hal yang demikian tidak terjadi lagi. Meski terkadang aku berpikir, inilah resiko pekerjaan. Menjadi guru di zaman sekarang, mungkin tak semudah dahulu.
Dewasa ini, seorang murid yang dicubit gurunya, kemudian melapor pada orang tuanya, lalu gurunya dipenjarakan, seperti hal yang sering terjadi. Ada juga orang tua yang tak terima anaknya dicukur oleh gurunya, lalu datang ke sekolah untuk mencukur rambut gurunya. Harus diakui, aku hidup di zaman seperti ini.
dari kejadian tersebut ambil sisi positif nya
BalasHapustetap semangat ,, untuk mendidik dan mencerdaskan anak - anak bangsa .....