Aku yang tak menyangka, ada orang yang benar-benar menggilaiku. Aku tak tau harus bagaimana. Dia tak lain adalah temanku ketika aku masih kecil. Jika Anda berpikir saya sedang GR, Besar Hati, atau apapun itu, silahkan Anda simpan pemikiran seperti itu hingga Anda selesai membaca semua tulisan di bawah ini.
Dulu sempat kami pacaran, lalu putus di tengah jalan. Aku sendiri tak yakin apakah itu yang dinamakan pacaran atau bukan. Itu adalah kenangan yang menyakitkan. Mengapa itu harus terjadi? [mimik sedih]
Setelah aku lulus sekolah dasar, aku melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP/MTs. Tak kusangka, dia yang adik-kelasku [meski beda sekolah] juga melanjutkan pendidikan di sekolah yang sama denganku. Aku tak berpikir kalau dia mengikutiku, kupikir dia hanya ingin melanjutkan pendidikannya kebetulan saja dia memilih sekolah yang sama denganku. Semua masih aku anggap wajar sejauh ini. Aku tak pernah mendapat gangguan yang berarti.
Lulus dari MTs, aku hampir tak melanjutkan ke SMA. Atas dorongan dan dukungan dari temanku serta ibunya akhirnya aku melanjutkan ke SMA terfavorit di daerahku. Karena aku mendapat juara 1 di MTs pada nilai mata ujianku, menurut mereka sangat "eman-eman" [atau disayangkan] kalau saja aku tidak melanjutkan sekolah. Semasa SMA aku pernah tinggal di pondok pesantren, saat itulah dia mengirimi aku surat. Surat itu laiknya sebuah cerpen, dia tulis panjang lebar hingga beberapa lembar kertas yang intinya cuma satu. Dia bilang dia membenciku. Tapi aku tak pernah tau kalau yang dia maksud adalah "benar-benar cinta". Di dalam suratnya juga terdapat sebuah foto, fotonya bersama kedua temannya yang (mungkin) berfungsi sebagai penguat cerita dalam "cerpen" yang dia tuliskan. Aku tak pernah membalas suratnya, sekalipun.
Aku pernah dengar (mungkin dari orang tuaku), setelah dia tak lulus dari ujian di MTs dia pergi ke Jakarta untuk mencari/bekerja. Tapi, belum sehari di sana dia pulang dalam keadaan tak sadar. Dia tak mengenali lingkungannya, saudara-saudaranya, keluarganya, dia lupa segalanya. Baru-baru ini cerita tersebut saya dengar langsung dari ayahnya ketika aku mengunjungi rumahnya. Dia juga sudah berkali-kali di bawa ke 'Banyumas' dengan kesembuhan yang sangat singkat.
Beberapa kali aku dengar, beberapa kali dia "minggat" dari rumahnya tanpa alasan yang bisa dimengerti dan menjadi bahan "pencarian" bagi orang tuanya. Terakhir aku dengar dia ditemukan di Bantarsari, di pergi dengan sepedanya. Sebenarnya aku tak benar-benar yakin dengan berita ini, aku hanya mendengar dari salah seseorang yang bercerita. Kuharap dia tidak sedang mencariku.
Waktu terasa begitu cepat. Aku mulai terasa terusik beberapa bulan belakangan ini. Perkembangan perangkat seluler membuatnya "mencari"-ku dengan peralatan tersebut. Merasa tak mau ketinggalan zaman, dia minta dibelikan ponsel ke keluarganya. Dan mencari-cari nomorku dengan meminta ke tetangga-tetangga. Pertama yang aku ingat adalah, dia minta ke An. An memang sebelumnya sudah aku beri nomor ponselku karena keperluan yang ada hubungannya dengan pekerjaanku saat An datang ke tempat kerjaku. Melalui sambungan telepon, An meminta izin kepadaku apakah akan memberikan nomornya ke orang lain atau tidak. Pada saat itu, aku pikir siapa pun yang membutuhkan nomor ponselku boleh saja diberikan.
Ya, beberapa bulan belakangan ini. Setelah dia mendapatkan nomorku, tak hanya sekali atau dua kali dia mengirimkan pesan singkat. Sekali kirim, tak kurang dari puluhan sms yang dia kirimkan. Sesekali aku balas, tapi sering tidak aku balas. Apalagi setelah adiknya melarangku membalas sms darinya aku tak lagi pernah membalas smsnya. Kusuruh adiknya yang bilang kalau aku sudah ganti nomor. Terkadang dia tetap mengirimiku sms, dan aku tak pernah membalasnya. Karena memang aku tak ganti nomor. Rasanya terlalu berat kalau aku harus ganti nomor, teman-temanku telah banyak yang tahu nomor smartku dan merupakan nomor kenanganku.
Melalui teknologi internet di jejaring sosial facebook, seorang teman meminta nomorku untuk diberikan kepada seseorang. Temanku bilang, dia sangat ngefans denganku hingga minta fotoku segala. Aku menanyai temanku tersebut, siapa yang minta? Setelah aku tau dia yang memintanya, aku tak mengizinkan dan tak memberikan nomor[ponsel]ku. Temanku bilang, dia marah-marah kalau temanku tidak memberikan apa yang dia minta yang sebenarnya temanku juga tak punya apa yang dia minta.
Baru dua temanku yang sudah memberi tahuku tentang "kelakuannya". Dan masih memungkinkan dia telah "menyerang" teman-temanku yang lain.
Sialnya, aku malah sempat berjanji pada temanku tersebut akan datang ke rumah"nya" pada saat lebaran dan berbicara padanya. Tujuannya agar dia tak lagi mengirim pesan/sms ke teman-teman yang lain. Saat lebaran aku tak datang ke rumahnya, meski aku libur selama seminggu. Ya, setelah aku masuk kerja selang beberapa minggu aku merasa terserang penyakit yang aku sendiri tak tau namanya. Pokoknya kalau untuk menelan makanan rasanya sakit di mulut, tapi saya yakin bukan gigi yang sakit. Pada sabtu malam, saat aku pulang dari rumah pak Mantri (yang ternyata pak Mantri sedang tidak ada di rumah) aku memberanikan diri mampir ke rumahnya, bertemu dengan ayah, ibunya, serta keluarganya yang lain {di sinilah letak kesalahanku; jika tak mau dianggap benar}. Aku mengajaknya bicara, sepatah dua patah kata. Menaynyakan kabarnya serta beberapa pertanyaan lain yang kurasa perlu. Tanpa kusadari, ternyata apa yang kulakukan kali ini seolah "memberinya harapan". Aku sendiri bukan orang yang berpengalaman untuk hal-hal sosial (berhubungan/komunikasi dengan orang lain) seperti ini. Lebih parah dari itu, aku malah memberikannya apa yang dia minta dari temanku yaitu nomor ponsel dan fotoku (foto santai ukuran kecil). Hal yang membuatku terkejut adalah dia minta fotoku yang berukuran besar untuk dimasukkan dalam figura.
Belum sehari aku memberikannya nomorku, dia mulai dengan memanggilku "yang". Rasanya kehidupan 'muramku' telah dimulai. Hari-hariku akan dipenuhi puluhan, bahkan ratusan pesan yang tak mungkin akan kubalas satu per satu. Apakah masih ada kata "menyesal"?
"Betapa Sakitnya Dicintai". Itu judul yang saya tuliskan. Kira-kira kalimat itulah yang dapat menggambarkan apa yang kurasakan sekarang ini. Dicintai secara berlebihan, yang aku sendiri tak pernah tau hal ini terjadi sebelumnya. Dicintai oleh tetangga sendiri, yang tak kucintai. Dicintai oleh orang yang tak disukai oleh orang tuaku. Aku sempat berpikir, kalau seandainya masa depanku akan hancur karena gara-gara ini maka tulisan ini akan menjadi saksi atas apa yang telah aku alami. Aku bukan penulis yang baik, semua yang aku tuliskan di blog-ku hanyalah merupakan hasil dari apa yang telah aku rasakan/pikirkan. Seringkali tak memerhatikan kaidah-kaidah Bahasa Indomesia yang benar.
Tak ada lagi yang bisa kuceritakan.