Selasa, 17 Februari 2009

surat balasan dari Tulus, sebuah kenangan


Minggu, 28 Januari 2007

“Salam hormat untuk kakakku Kak Samsul M”

Telah kuerima dan pahami sepucuk surat dari kakak, kak Samsul ku ucapkan makasih ya atas “Balok Laksananya”. Niat aku kan menukar jadi ini tukarannya. Memang kak Samsul, sesuatu yang kita dapatkan itu adalah hasil jerih payah dan pengorbanan masing-masing. Kak, aku menukar balok laksamana ini bukan karena balok ini milik aku itu jelek atau gimana, tapi aku ingin menjadi orang yang berjiwa pramukanya seperti kak Samsul. Aku ingin melaksanakan banyak hal yan yang ku pelajari dari kakak. Menurut aku dan DKA Bantarsari. Diantaranya itu menganggap, kak Samsul . itu adalah satu hal yang membuat aku salut sama kakak. Emang juga setiap manusia itu tidak ada kesempurnaannya. Akan tetapi kita juga diberi kelebihan masing-masing. Iya kan.
Kak, dismping itu kak Samsul adalah figur yang profesional, dikala kita berorganisasi ataupun dikala kita menjadi teman, tapi tetap saja bagi saya kakak adalah kakak senior yang berbeda dengan senior lainnya. Kak Samsul itu punya keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan yang lainnya. Entah kenapa banyak senior sini yang memandang kakak kaya gitu.
Nah, dari situlah aku ingin memakai balok laksana kakak. Aku berharap aku bisa meneladani sikap-sikap kakak. Sebenarnya aku ini banyak sekali belajar dari kakak lho…?
Kak pahami tulisan berikut !!!
Kak kemarin setelah saya baca surat dari kakak, ada kalimat yang menyentuh hatiku. Kakak bilang, kakak gak pantas menyandang dek laksana. “tolong kak jangan berkata seperti itu, karena perkataan yang seperti itu hanya membuat tangis dihatiku. Kak, kita emang manusia yang banyak kekurangan, tapi kita telah dilantik sebagai “laksana” dengan waktu dan pengorbanan masing-masing. Maka pantas tidaknya kita manyandang dek laksana itu adalah suatu perjuangan. Mari kita sama-sama berjuang mengamalkan Tri Satya dan Dhasa Dharma. Disamping itu kita berjuang menggali pengetahuan tentang Kepanduan dan Kenegaraan. Jadi tolong kak, janganlah seperti itu please…!
Kita telah terlantik. Maka itu adalah menjadi tanggung jawab yang besar bagi kita untuk meresapi arti “Laksana”.
Jadi pesan saya cuma itu “jangan berkata yang kaya gitu”
Kalau kakak gak pantas menyandang deck laksana apalagi saya?
Kakak adalah senior saya yang membuat saya seperti ini, setidaknya membuat saya sedikit pandai tentang kepramukaan.


Untuk upacara serah terima, aduh sedih banget. Tapi aku mohon jangan lupakan kami kak. Kak samsul adalah kakak yang terbaik yang pernah aku kenal, kalau kangen main aja ke rumah ya? Sory kemaren aku tidak di rumah. Sory banget yach, padahal aku pengin ngobrol banyak dengan kakak. Tapi gak papa ya, lain waktu saja.
Kak Samsul maaf lancang “Insya Allah puisi yang kemaren akan diterbitkan, itu permintaanku kepada dewan redaksi, tapi kalau tidak diterbitkan berarti mereka jahat (mungin banyak puisi yang sudah masuk) aku ingin puisi itu manjadi kenangan buatku.
Hal lain semoga deck laksana kakak juga menjadi kenangan buatku. Dan Insya Allah aku akan mengamalkan amanah dari kakak…!
o aku ingin meneladani sosok kakak yang pandai dan apa adanya dan semoga dengan memakai deck laksana kakak, akui akan selalu mengingat pesan dan motivasi dari kakak.
o Untuk puisi “Aku enggak janji soalnya udah banyak puisi yang masuk ke dewan redaksi.
o Maafkan saya ya kak, mungkin selama saya menjadi yunior kakak, saya banyak melakukan hal yang kiranya membuat marah atau gimana? Maaf ya kak.
o Jangan pernah lupakan kami ya, kami tetap menjadi adik kakak dan kakak juga tetap menjadi kakak aku.

o Udah ya kak, semoga kakak di sana selalu mengingat kami. Jika liburan main juga boleh. Jika males, kirim surat lebih baik. Dan terahir bila perkataanku menyakitkan aku mohon maaf.

Adinda,

Dwi Tulus Panewun



Selasa, 17 Februari 2009
lus, ini adalah salah satu kenangan yang kita buat dahulu. aku tak akan melupakan masa laluku begitu saja.
Jum'at, 30 Januari 2009

setelah membaca tulian-tulisanku yang terdahulu aku jadi merasa terkesan masa-laluku yang penuh dengan kata dan bahasa. meskipun kata dan bahasaku di masa lalu (dan selalu) sangat semrawut, aku sendiri merindukan masa lalu yang penuh dengan kata dan bahasa yang menghasilkan catatan.

Memori Malam Minggu (M3)

Pada saat malam hari raya qurban aku, Sem, N Komet kira-kira jam 19.00-lah aku bersepeda/pit-pitan ke Kedungreja. Aku juga udah ada rencana mau kerumah seorang gadis cuantik, manis, N ya…pokoknya gitudeh. Setelah sampai tapi aku bingung mana jalan yang menuju rumah dia. Tapi akhirnya rumah itu aku temukan dalam keadaan sepi N agak gelap. Tapi aku masih penasaran betul apa ga rumah dia. Ma’lum udah lama ga kesana soalnya aku tau juga udah lama waktu aku habis ujian di SMP. Terus aku balik lagi ke Sem N Komet. Aku bilang rumahnya udah ketemu N sepi, tapi ramenya di belakang. Terus Komet bilang
“Ya wis, ayuh parani bae. Wonge ana ikih mbok?”
Terus aku njawab, “Ya ana”.
Kami pun mulai beraksi menyerbu rumah dia. Dan Komet telah siap memimpin barisan kami untuk masuk ke rumah dia. Kemudian Komet mengeluarkan jurus tiga ketuk pintu N mantra salam (Assalamu’alaikum) yang dilakukan Komet setelah bunyi jam dinding dari dalam rumah. Mantra salam Komet sangat manjur, terbukti baru beberapa detik Komet membacanya langsung di-jawab N pintunya terbuka lebar. Tak ayal dia terkejut ketika melihat Sem N Komet, dia sama sekali tak mengira mereka akan datang malam itu. Basa-basi Komet bertanya,
“Ora ngganggu mbok?”
“ya ora,”
jawabnya, “ ngerti kang endi umahku neng kene?”
“Kan ana petane neng njaba,” jawab Sem dengan kaki seribu yang pernah diceritakan Sem, dia melangkah keluar mencariku yang lagi ngumpet di bawah tanaman bunga.
“Agi ngapa koh?”
“Agi umpetan, kawenangan koh, asem”.
Sejurus kemudian dia mengulurkan tangannya nan halus; mengajakku berjabat tangan. Dengan hati berbunga-bunga kujabat tangannya dengan erat, sembari kuucap beribu-ribu kata maaf. Kuiringi langkahnya masuk ke rumahnya. Singkat cerita, banyak hal yang kami bicarakan selain asmara. Setslah beberapa menit, kami dijamu dengan makanan favorit Komet. Maka tak heran makanan itupun disantap hais oleh Komet dengan lahapnya. Kira-kira jam 21.30-an kami berpamitan untuk pulang karena sudah larut malam, di sisi lain kami telah melanggar Undang-Undang perapelan, yaitu batas waktu jam 21.00.

By TUKIMIN (2Q-)
Sidareja, 30-12-‘06
Sesaat setelah perapelan