Minggu, 09 Juli 2017

Boy, It's Really Damn Complicated!

Sore tadi, Sabtu, 8 Juli 2017 aku dan yani bersih-bersih PTK, basecamp kami. Hal tersebut bermula dari pagi harinya, aku menjemput yani, di rumahnya. Saat aku sampai di rumahnya, ibunya sedang keluar, kondangan. Katanya temanku yang sedang hajatan. Aku sendiri tidak diundang.

Jalan di depan rumah  yani sedang dalam proses pengecoran. Jadi motorku tidak dapat parkir di pelataran rumahnya. Hanya bisa diparkir di seberang jalan, depan rumahnya. Aku sudah mengabarinya beberapa waktu sebelumnya, jadi aku tak terlalu lama menunggunya.

Saat kami sampai di PTK (Pusat Teknologi Komunitas) Mahnetik, kondisinya sangat kotor. Karena sudah beberapa bulan tidak ditempati. Selain karena internet di sini sudah tidak ada (karena tidak dibayari), aku sendiri yang biasanya menempati lebih sering di rumah. Kami lalu membersihkan tempat ini.

Semua terasa menyenangkan. Seolah kami sedang membersihkan rumah baru kami. Agak terasa aneh sih. Karena ini bukan rumah kami. Meski aku berencana menempatinya beberapa hari ke depan. Itulah alasannya kami membersihkan, menyapu lantai, membersihkan sawang, bahkan mengepelnya. Semua terasa menyenangkan, hingga kami hendak pulang. Kami merasakan ada yang kurang, iya, kunci pintu. Ke manakah kunci pintunya lenyap?

Aku tak dapat mengingatnya dengan tepat. Yang pasti di antara meja-meja di ruangan utama, di mana aku biasanya meletakkan sesuatu ketika masuk. Ya memang sih, namanya bersih-bersih. Termasuk tempat aku meletakkan kunci itu, dibersihkan, dilap, disapu. Mungkin saja tersapu. Mungkin saja terselip entah ke mana.

Akh, itu hanya sebagian kecil kegalauanku kali ini.

Sepanjang hidupku, aku merasa perjalanan karir, dan perjalanan, tantangan, serta alur hidupku terasa lempeng-lempeng saja. Seperti mengalir begitu saja. Kalau pun aku menemui tantangan. Tantangan itu lekas segera teratasi, dengan atau tanpa bantuan teman-temanku.

Namun, aku baru merasakan. Saat aku hendak menentukan dengan siapa aku akan menghabiskan sisa hidupku. Aku menemukan kendala yang tidak mungkin aku lawan, orang tuaku sendiri. Aku bingung, aku bimbang. Antara menuruti kemauan mereka, atau aku pilih jalanku sendiri.

Memang, aku sering berpikir kalau apapun yang kulakukan akan selalu dianggap salah oleh orang tuaku. Ya, tidak segalanya sih. Beberapa, mungkin tidak banyak darinya yang bisa mereka terima.

Memang, aku dan ibuku hampir tidak pernah sependapat, tentang berbagai hal. Dan aku tidak bisa melawan. Seperti saat SMA misalnya. Aku mengikuti berbagai kegiatan sekolah. Jika aku mengikuti kegiatan tersebut dengan izin terlebih dahulu, mungkin aku tidak akan diizinkan. Jadi apa yang telah aku lakukan? Aku ikut saja, dan mereka tidak tau. Tau-tau aku sudah pulang, dan baru bilang ke mereka (ibu dan bapakku).

Di sisi lain, karakter mereka yang keras dan tidak mudah menerima pendapat orang lain yang membuatnya lebih rumit. Aku ingat ketika aku masih bekerja di Purwokerto, sekitar tahun 2009 silam. Saat aku cerita tentang masjid terdekat dari tempat kerjaku, aku sempat subuhan di sana. Ibuku menanyakan akan di sana sholat pake qunut atau tidak. Aku menjawabnya dengan berdiplomasi. Dari pertanyaa itu saja bisa kutebak akan ke mana arahnya. Sedangkan aku tak ingin mendebat ibuku sendiri.

Aku pernah membawa yani ke rumah, dan menunjukkan pada ibu dan bapakku. Itu setahun yang lalu. Respon yang tak kuduga pun muncul. Dari penampilan fisik yani, ibuku tidak memiliki ketertarikan sama sekali. Setelah melihat wujud yani, beliau lalu masuk ke kamar. Ternyata belau menangis. Awalnya aku tak mengerti apa yang beliau tangisi. Belakangan beliau memintaku untuk mencari yang lain. Yang lebih cantik. Yang tidak memiliki cacat fisik.

Bapakku yang kuharapkan dapat mendukungku, pun ternyata sebaliknya. Bahkan sempat bapakku meminta/menanyakan tentang hubunganku dengan yani kepada orang pintar. Hasilnya, orang pintar tersebut menyarankan untuk memisahkan aku dan yani, karena akan sulit ke depannya, menurutnya. Semakin bertambah rumit. Boy, It's Really Damn Complicated!

Aku telah membina hubungan ini selama kurang lebih 3 tahun. Aku pun merasa yani adalah pribadi yang cocok denganku. Sepanjang tahun, aku di Cilacap, yani di Malang. Kami bertemu hanya saat momen-momen lebaran, saat dia mudik. Terkadang aku menjemputnya ke sana. Orang tuanya pun menyetujui hubungan kami.

Bukan cuma aku, yani pun memiliki tantangan tersendiri. Baik dari lingkungan kerjanya yang kurang dihargai (pekerjaannya), atau dari orang tuanya yang tidak menganggapnya. Yani juga telah menolak beberapa pria yang mencoba mendekatinya hanya karena telah bersamaku.

Jumat, 20 Januari 2017

Bosen Juga Lama-lama di Sekolah

Semalam, tiba-tiba saja jemariku tergerak untuk menuliskan judul diatas di laman facebook-ku. Entahlah, perasaan itu juga tiba-tiba saja muncul. Masih sulit dijelaskan apa penyebabnya. Hanya saja, itu yang kurasakan.

Tiga tahun, cukup lama memang untuk dibilang ini adalah sebuah  pekerjaan. Namun telah selama itu, aku belum merasakan apa yang disebut sepenuhnya nyaman. Terkadang pekerjaan ini justru membuatku merasa salah. Aku merasa salah posisi. Tapi aku tak tau apa lagi yang bisa kuperbuat.

Aku mungkin seharusnya tinggal bersama orang-tuaku. Namun itu tidak membuatku merasa nyaman. Hingga kuputuskan untuk tinggal di tempat orang yang itu justru membuatku lebih jauh dari tempat kerjaku. Tapi aku menikmati kesendirianku di sini.

Aku tak tau, bisa sebanyak apa aku menuliskan kebosananku  ini. Namun, hingga aku benar-benar merasa bosan, biasanya aku akan mundur dari kebosanan. Bukan apa-apa. Bukan pula karena sertifikat yang baru kudapatkan. Mungkin karena aku belum terlalu dapat menerima kekalahanku.

Aku kalahh. Tapi apa aku harus menyerah? Aku masih punya kesempatan untuk menang. Aku masih punya kesempatan untuk mengulang. Perjuanganku, apakah akan sampai di sini? Perjuanganku, mungkin tak seberapa. Tapi aku berjuang, untuk siapa? Untuk diriku sendiri, kah? untuk orang lain, kah? atau kah, untuk sekolah?

Apa yang bisa kuperbuat? Aku, mungkin bukan orang pandai. Aku, mungkin bukan orang yang sabar. Aku, mungkin juga bukan orang yang dapat secara langsung menerima kekalahan. Aku, mungkin juga hanya butuh waktu. Waktu untuk menenangkan diri.

Lalu, ada apa dengan sekolah? Apa yang membuatku bosan? Apakah lingkungan sekolahnya? Apakah anak-anaknya? Ataukah teman-teman guru yang acuh kepadaku? kepada perjuanganku? Mungkin tidak. Mungkin aku yang terlalu berharap, berharap mereka menerimaku. Berharap mereka menerima kebodohanku. Berharap mereka menerima kemalasanku.

Akh,  ini cuma catatan kebosanan. Yang ditulis oleh orang yang malas, di pagi hari. Di mana orang-orang lain sedang rajin ke sekolah. Akh, mungkin pagi  ini  aku tetap berangkat sekolah. Meski  entahlah, apakah aku akan diterima mereka atau tidak. Meski entah, meski  entah, apakah aku akan bertambah bosan, ataukah kebosananku akan sirna.

Akh, entahlah. Lalui saja yang satu ini. Akh, entahlah. Beberapa temanku telah mundur, mundur bukan karena kalah. Mundur karena memilih jalan yang lebih baik. Mundur, untuk memerbaiki kehidupan. Mundur, karena jalan yang kita ambil saat ini tak selalu berarti jalan yang terbaik.

Lalu, sebenarnya apa yang kubutuhkan saat ini? Motivasi, mungkin itu jawabannya. Lalu apa yang dapat memotivasiku? atau siapa? Hemmm... Jika saja mungkin, siapa pun.